Untuk menghindari kemerosotan ekonomi di Belanda, arsitek Han Groenewegen membubarkan praktik arsitekturnya di Den Haag pada tahun 1927 dan berangkat ke Medan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), setelah mendengar dari seorang kenalan bahwa ada rencana pembangunan rumah sakit di sana. Kecuali untuk kunjungan singkat ke Belanda setelah Perang Dunia II, ia menghabiskan sisa hidupnya di Indonesia, ia memainkan peran penting dalam perkembangan Medan sebelum perang. Melalui bioskop teater yang besar dan monumental, yang dibangunnya pada tahun 1950-an dan menjadi acuan bagi tipe bangunan ini di Indonesia, ia turut berkontribusi terhadap pengenalan film sebagai media massa di tanah air keduanya. Groenewegen juga aktif dalam kehidupan sosial, menjadi anggota komisi estetika kota Jakarta, aktif sebagai dosen dalam pendidikan arsitektur, dan menyelesaikan sebuah manuskrip tentang sejarah arsitektur Asia Timur.
Sepanjang kariernya, Groenewegen tetap mengikuti perkembangan arsitektur Belanda dari dekat, yang terlihat jelas dalam gaya arsitekturalnya. Sumber inspirasi yang mudah dikenali antara lain adalah *Amsterdamse School*, seperti pada gereja di Medan (1928) dengan atap berbentuk parabola; gaya geometris ortogonal yang tegas dari arsitek seperti Wils, J.F. Staal, dan Dudok, seperti pada rancangan balai kota untuk Medan (1940) dan, dalam versi khas miliknya sendiri, pada bioskop-bioskop pascaperang. Kolam renang di Medan (1939) menunjukkan gaya modernisme yang anggun, mirip dengan Hotel Gooiland karya Bijvoet dan Duiker, sementara perluasan Rumah Sakit St. Elisabeth di Medan (1963) dengan fasad beton yang mencolok menunjukkan ciri brutalistik, dan pusat kebudayaan (1953) dirancang sebagai bangunan ringan dengan fasad tirai dan atap yang terangkat. Seiring waktu, elemen-elemen Asia juga dimasukkan dalam karyanya, seperti pada desain pemenang penghargaan untuk masjid Mesdjid Istiqlal (1955) di Jakarta.
Groenewegen tetap tinggal di Indonesia bahkan dalam masa-masa sulit dan, pada tahun 1956—ketika warga negara Belanda tidak lagi diperbolehkan menjalankan usaha—ia menjalin kemitraan dengan arsitek Indonesia Frits Silaban. Baru pada tahun 1960-an ia kembali aktif di bawah namanya sendiri. Pada tahun 1980, Groenewegen wafat di Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta, yang ia sendiri rancang (1955–1961).
Buku ini diterbitkan atas inisiatif Stichting Bibliografieën en Oeuvrelijsten van Nederlandse Architecten en Stedebouwkundigen (BONAS). Stichting BONAS bergerak dalam bidang inventarisasi dan dokumentasi karya arsitek, arsitek interior, perancang kota, serta arsitek taman dan lanskap asal Belanda dari abad ke-19 dan ke-20